lundi, août 29, 2005

Mengejar Mabrur dengan Bekal ''Kurma''

Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji pasti ingin meraih gelar haji mabrur. Sebab, seperti dijanjikan Rasulullah, ''Orang yang mendapatkan haji mabrur, tiada balasan yang lebih baik baginya, kecuali surga''. Tidak mudah untuk mencapai mabrur, yang merupakan puncak prestasi ibadah haji seseorang. Namun, ada ikhtiar yang bisa dilakukan untuk merengkuhnya.

Menurut Mardjoto Fahruri, sekretaris Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Boyolali, Jawa Tengah, menunaikan ibadah haji perlu membawa bekal ''kurma'' (bahasa Jawa: dibaca ''kurmo''). Apa maksudnya? ''Kalau mendapatkan kenikmatan kita harus selalu bersyukur, kalau menghadapi kesulitan atau cobaan kita harus nrimo atau ikhlas. Dengan modal 'kurma' itu, insya Allah kita akan mendapatkan gelar mabrur,'' katanya. Fahruri menjelaskan, orang yang menunaikan ibadah haji itu adalah orang yang dipanggil Allah atau tamu Allah. ''Sebagai tamu Allah, ia harus mempunyai bekal yang disebut 'kurma', yakni syukur dan nrimo,'' kata Pimpinan Kelompok Pengajian Bani Adam Boyolali.

Lebih jauh, Fahruri mengatakan, syukur dan nrimo itu merupakan modal hidup yang utama. ''Kalau seorang jamaah haji selalu syukur dan nrimo selama menunaikan ibadah haji di Tanah Suci maupun setelah berada kembali di Tanah Air, insya Allah hidupnya akan selamat dan penuh berkah. Apa pun yang terjadi, ia mampu menerimanya dengan ikhlas. Sebab ia yakin, semua itu merupakan kehendak Allah SWT,'' tandasnya.

Meskipun demikian, Fahruri menegaskan, syariah harus tetap ditempuh dengan sebaik mungkin sesuai dengan prosedur dan manajemen yang benar. ''Dari segi jamaah haji maupun umrah, penting untuk selalu syukur dan nrimo. Namun dari segi penyelenggara, pemerintah maupun travel haji/umrah dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), harus melaksanakan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Hal yang perlu diingat, jamaah haji itu merupakan tamu Allah. Karena itu harus diperlakukan dengan sebaik mungkin sebagaimana layaknya tamu Allah,'' ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Drs H Ahmad Anas MAg, ketua Yayasan Riyadhul Jannah, Semarang. Menurut Anas, selain mengetahui dan memahami tentang tata cara dan makna ibadah haji, hendaknya calon jamaah haji menanamkan nilai-nilai keikhlasan dan kesabaran sejak dini. Sebab, kata dia, banyak peristiwa yang terjadi di Tanah Suci berada di luar jangkauan akal manusia.''Jika kita ikhlas dalam melaksanakan ibadah, niscaya Allah akan memberikan kemudahan bagi kita dalam menunaikan perintah-Nya,'' jelas Pembimbing jamaah haji Travel Razek ini. Suami Hj Siti Alfiaturohmaniah ini menambahkan, keikhlasan dan kesabaran menjadi kunci sukses untuk menggapai predikat haji mabrur.

Mampu
H Ma'mun Efendi Nur, Lc, MA, PhD, staf pengajar IAIN Walisongo Semarang mengatakan, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki seorang calon jamaah haji untuk menunaikan ibadah haji adalah istitho'ah (mampu). Artinya, seorang calon jamaah haji harus memiliki kemampuan, baik kemampuan akan harta benda untuk menunaikan ibadah haji dan untuk keluarga yang ditinggalkan, maupun kemampuan fisik (sehat jasmani dan rohani).

Di samping dua kemampuan di atas, kemampuan lainnya yang juga memiliki peranan penting dalam melaksanakan ibadah haji adalah kesiapan ilmu pengetahuan akan ibadah haji, misalnya makna dan spiritualitas haji, tata cara (manasik) dan lainnya. Faktor kemampuan ilmu pengetahuan tentang ibadah haji ini, sangat penting artinya untuk kesempurnaan ibadah haji (sesuai syarat dan rukunnya) dalam menggapai haji mabrur. Tentu saja, pengetahuan tersebut meliputi banyak hal, sejak proses pendaftaran, pembayaran ONH, perlengkapan dokumen, pengetahuan sejarah haji, serta proses perjalanan dan makna ritual yang terkandung dalam ibadah haji. Proses pembimbingan dan pembinaan haji itulah yang disebut dengan bimbingan manasik haji.

Untuk mempersiapkan itu semua, tidaklah cukup waktu satu hingga tiga bulan sejak dari proses pendaftaran hingga pemberangkatan calon haji ke Tanah Suci. Maka untuk mempersiapkan pengetahuan yang mendalam, setidaknya seorang calon haji bisa mempersiapkan jauh sebelum dirinya berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Ma'mun mengatakan, waktu manasik yang diberikan selama tiga bulan itu terlalu singkat. ''Minimal seorang calon haji harus mempersiapkan diri setahun sebelum ia berangkat ibadah haji,'' kata alumnus Universitas Ummul Qura Madinah kepada Republika.

Ia menambahkan, pengetahuan dan pemahaman akan makna dan tata cara ibadah haji sangat penting artinya bagi calon haji dalam menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebab, tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang itu, maka ibadah haji tersebut hanya menjadi ibadah rutinitas yang jauh dari nilai-nilai kesempurnaan. ''Jangan sampai, ketika menjadi tamu, tidak mengetahui apa yang akan disampaikan kepada tuan rumah,'' ujar Ma'mun berfilsafat. Pria yang lama bermukim di Tanah Suci itu mengungkapkan, jamaah haji dari Malaysia rata-rata mendapatkan pembekalan dan pengetahuan ibadah haji, jauh hari sebelum melaksanakan ibadah haji. ''Ada yang berguru khusus kepada para ustadz, ada pula yang mempelajari buku-buku tentang haji. Jadi, mereka tidak mendadak mendapatkan pengetahuan tentang tata cara beribadah haji tersebut,'' tutur Ma'mun.

Presiden Direktur PT Nur Rima Al-Waali, Hj Irmawati Asrul SE mengatakan, kemampuan (istithoah) yang dimaksudkan oleh Alquran dalam ibadah haji adalah kemampuan harta benda, ilmu pengetahuan, dan kemampuan fisik. '"Dengan memiliki kemampuan seperti ini, Insya Allah ibadah haji akan diterima Allah SWt,'' kata Hj Irma. Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) itu menambahkan, selain kemampuan di atas, sebaiknya seorang calon haji juga dibekali dengan niat yang tulus dan ikhlas dalam menjalani segala sesuatu. Sebab, ungkapnya, perjalanan haji untuk menggapai predikat haji mabrur, membutuhkan perjuangan yang maksimal. ''Apalagi, jalannya begitu terjal dan banyak godaan yang siap menghalangi upaya kita untuk beribadah,'' jelasnya.

Ia menyebutkan, godaan dan halangan yang biasa dialami oleh jamaah haji saat melaksanakan haji adalah berkata-kata yang kasar, ketus, suka iri dengan urusan orang dan senang menggunjingkan orang lain. Padahal, kata dia, Allah telah menegaskan, bahwa seorang jamaah haji dilarang berkata-kata rafats (berkata jorok/porno), fusuq (fasik, berkata kasar), dan jidaal (menggunjing) selama melaksanakan ibadah haji. ''Tanpa keikhlasan dan kesabaran, niscaya kita akan sering terpeleset untuk berbuat yang dilarang Allah,'' tegasnya.

Tips Haji Mabrur

Apa saja langkah-langkah praktis yang perlu dilakukan oleh seorang calon jamaah haji agar bisa meraih mabrur saat berhaji? Berikut ini tips yang diberikan oleh Ustad Mardjoto Fahruri, sekretaris Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Boyolali, yang juga Pengasuh Kelompok Pengajian Bani Adam, Boyolali, Jawa Tengah.
* Tobat kepada Allah sebelum pergi berhaji maupun selama menunaikan ibadah haji.
* Gemar berinfak, dalam keadaaan lapang maupun sempit. Baik dengan tenaga, ilmu maupun harta.
* Menahan marah
* Memaafkan kesalahan orang lain, sebelum orang tersebut memohon maaf
* Senang berbuat baik. Perbuatan kita tidak boleh merugikan orang lain. Bahkan kalau bisa menguntungkan orang lain alias muhsin.

source



Blogged on 9:17 AM

~~~

Meraih Haji Mabrur dengan Bekal Takwa

Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail MA

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan seasungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS Al Baqarah (2): 197).

Salah satu bentuk kasih sayang dan karunia Allah SWT terhadap para hamba-Nya adalah dijadikan bagi mereka musim-musim kebaikan (Mawaasimu”l Khair) guna meningkatkan kesempurnaan kemanusiaannya serta meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Setelah Ramadhan, kini kita tengah memasuki musim kebaikan yang lain, yaitu musim haji. Di dalam musim ini ada sepuluh hari pertama Dzulhijjah yang merupakan hari-hari sangat mulia sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:

“Tidak ada hari di mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari (Dzhulhijjah) ini.” Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak tertandingi oleh jihad fi sabilillah sekalipun”! Beliau menjawab, “(Ya), tidak tertandingi oleh jihad fi sabilillah sekalipun, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa raga dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (yakni mati syahid).” HR Bukhari.

Untuk itu terbuka peluang bagi siapa saja, jama”ah haji maupun bukan, untuk merengguk pahala ini dengan memanfaatkan musim kebajikan ini secara maksimal.

Miqat Zamani Haji
Secara zhahir tampak dari ayat di atas bahwa ibadah haji itu memiliki waktu tertentu, yang dalam terminologi fiqih dikenal dengan Miqat Zamani. Waktunya adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawal, Dzulqo”dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Karenanya, tidak sah berihram untuk haji kecuali di dalam bulan-bulan yang dimaklumi ini. Inilah pendapat yang rajih (kuat) dalam pandangan banyak ulama”.

Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abbas RA, Jabir RA, Atha”, Thawus, Mujahid dan Imam Asy Syafi,i “rahimahumullah-. Meskipun Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahawaih, Ibrahim An Nakha”i, Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa”ad “rahimahumullah- berpendapat bahwa berihram untuk haji sepanjang tahun (kapan saja) sah. Hanya saja akan lebih sempurna dan tidak sampai batal jika berihram untuk haji di bulan-bulan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” QS Al Baqarah (2): 189. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/211-212).

Tiga Hal yang Mengotori Kemabruran Haji
Orang yang dipilih Allah SWT dari ratusan juta kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji adalah orang yang sangat beruntung. Beragam keistimewaan dan keutamaan yang berpuncak pada surga yang menantinya jika ia meraih haji mabrur. Namun, ujian dan cobaan yang mengotori kemabruran hajinya juga tidak sedikit. Dari sekian banyak ujian, ada 3 (tiga) hal yang disebut dalam ayat di atas yang perlu senantiasa diwaspadai oleh jama”ah haji, yaitu rafats, fusuq dan jidal.

Sesungguhnya kemunkaran dan hal-hal negatif selama musim haji di tanah suci cukup banyak. Sehingga tidak benar, persepsi sebagian orang bahwa Tanah Suci sepi dari kemaksiatan dan kemunkaran. Ketika Al Qur”an hanya menyebut tiga hal negatif tersebut, hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya peluang untuk melakukan ketiga perbuatan negatif itu dalam “muktamar” yang dihadiri jutaan kaum muslimin sedunia dengan beragam warna kulit, bentuk fisik, suku, ras, bahasa dan adat amatlah besar. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang berkomentar, bahwa setiap jama”ah haji berpotensi untuk berbuat rafats, fusuq dan jidal, baik pra haji, di tengah penunaian berbagai manasik (ritual) haji maupun pasca haji, menjelang kepulangannya ke tanah air misalnya.

Ibnu Jarir dalam kitab Tafsirnya (II/273-279) secara panjang lebar menghadirkan penafsiran para ulama tentang “rafats” yang dapat disimpulkan, bahwa “rafats” adalah jima” (bersetubuh) dan permulaan-permulaannya seperti bercumbu serta perkataan yang menimbulkan birahi. Lalu “fusuq” adalah semua bentuk maksiat dan larangan-larangan bagi orang yang berihram. Sedangkan “jidal” adalah berbantah-bantahan, saling panggil memanggil dengan gelar yang buruk dan debat kusir seperti saling mengklaim bahwa apa dilakukan paling baik/benar dan semua perbuatan yang memicu konflik, kedengkian dan permusuhan. Ketiga hal ini diberi penekanan khusus untuk dijauhi, karena Allah SWT menginginkan jama”ah haji untuk melepaskan diri dari segala gemerlap dunia dan tipu dayanya, serta mensucikan diri dari segala dosa dan keburukan. Sehingga terwujudlah tujuan yang diinginkan dari ibadah haji yaitu Tahdzib An Nafs (pensucian jiwa) dan mengarahkannya secara total untuk beribadah kepada Allah SWT semata.

Dan hanya jama”ah haji yang mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan negatif tersebutlah yang diibaratkan Nabi SAW seperti bayi yang baru lahir ke dunia tanpa dosa.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji, tidak rafats dan berbuat fasik, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari di saat ia dilahirkan ibunya” HR Bukhari dan Muslim.

Setelah melarang berbuat keburukan, Allah SWT membangkitkan semangat mereka untuk melakukan kebaikan seraya berfirman, “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya”. Dilihat dan diketahui Allah merupakan jaza” qabla”l jaza”, penghargaan dan balasan dari Allah sebelum balasan yang sesungguhnya. Sehingga memotivasi seorang mukmin untuk semakin banyak memproduksi berbagai macam kebaikan.

Tips Meraih Haji Mabrur
Setiap jama”ah haji pasti berobsesi menjadi haji mabrur. Sebab, haji mabrur seperti sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, tidak ada balasan lain untuknya kecuali surga. Tetapi, ternyata tidak semua orang yang pergi haji ke tanah suci meraih predikat haji mabrur. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Umar bin Khaththab RA:

“Orang-orang yang rekreasi (turis) itu banyak, sementara jama”ah haji (sejati) sedikit”.

Masih banyak jama”ah haji yang beranggapan kepergiannya ke tanah suci sebagai rekreasi, bukan perjalanan suci. Masih banyak dari mereka yang tampilannya bak wisatawan, bukan Wafdu”r Rahman (tamu Allah). Jika hal ini yang terjadi alih-alih meraih haji mabrur, justru semua biaya dan tenaga yang ia kerahkan menjadi mabur, terbang dan hilang percuma.

Karena itu, Allah SWT dalam ayat di atas memberikan tips untuk meraih haji mabrur. Yaitu dengan memerintahkan orang-orang mukmin yang akan menunaikan ibadah haji untuk mempersiapkan bekal yang memadai. Bekal itu meliputi: Az Zaad Al Maaddi (bekal materi) dan Az Zaad Ar Ruhi (bekal spiritual). Perhatikan firman-Nya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”.

Termasuk dalam bekal materi adalah biaya selama perjalanan, biaya untuk keluarga yang ditinggalkan, kesehatan jasmani dan penguasan materi manasik haji. Sementara bekal ruhi adalah ikhlas, yaitu berhaji semata-mata karena Allah. Bukan untuk bangga-banggaan dan supaya dipanggil pak haji atau bu haji. Juga optimalisasi taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Inilah esensi takwa yang merupakan sebaik-baik bekal bagi jama”ah haji. Dengan takwa perjalanan haji yang amat berat dan beresiko ini menjadi ringan dan mudah. Dengan takwa haji mabrur akan menjadi realita, bukan utopia.

source



Blogged on 9:15 AM

~~~

If you interested in content, please contact the Writer: Rusnita Saleh :

The Presentations
The Internship Services
The Publishing
The Publications & Distribution
The Learning & Consultation Services
Knowledge Sharing
Knowledge Power

Telegram Buat Dian
Secret Code
Explore the Secret Code
Knowledge Center: How to Tips
Techno-Ettiquet
Agenda Puasa
Haji & Umrah : How to books


The Stories Blog
Healthy corner
Relax Corner
Time & Learning Session

Telegram Buat Dian

Secret Code

newsaturdesk.groups.yahoo.com

Blogger

Hit Counter
Free Website Counter

online