lundi, août 29, 2005

Meraih Haji Mabrur dengan Bekal Takwa

Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail MA

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan seasungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS Al Baqarah (2): 197).

Salah satu bentuk kasih sayang dan karunia Allah SWT terhadap para hamba-Nya adalah dijadikan bagi mereka musim-musim kebaikan (Mawaasimu”l Khair) guna meningkatkan kesempurnaan kemanusiaannya serta meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Setelah Ramadhan, kini kita tengah memasuki musim kebaikan yang lain, yaitu musim haji. Di dalam musim ini ada sepuluh hari pertama Dzulhijjah yang merupakan hari-hari sangat mulia sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:

“Tidak ada hari di mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari (Dzhulhijjah) ini.” Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak tertandingi oleh jihad fi sabilillah sekalipun”! Beliau menjawab, “(Ya), tidak tertandingi oleh jihad fi sabilillah sekalipun, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa raga dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (yakni mati syahid).” HR Bukhari.

Untuk itu terbuka peluang bagi siapa saja, jama”ah haji maupun bukan, untuk merengguk pahala ini dengan memanfaatkan musim kebajikan ini secara maksimal.

Miqat Zamani Haji
Secara zhahir tampak dari ayat di atas bahwa ibadah haji itu memiliki waktu tertentu, yang dalam terminologi fiqih dikenal dengan Miqat Zamani. Waktunya adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawal, Dzulqo”dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Karenanya, tidak sah berihram untuk haji kecuali di dalam bulan-bulan yang dimaklumi ini. Inilah pendapat yang rajih (kuat) dalam pandangan banyak ulama”.

Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abbas RA, Jabir RA, Atha”, Thawus, Mujahid dan Imam Asy Syafi,i “rahimahumullah-. Meskipun Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahawaih, Ibrahim An Nakha”i, Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa”ad “rahimahumullah- berpendapat bahwa berihram untuk haji sepanjang tahun (kapan saja) sah. Hanya saja akan lebih sempurna dan tidak sampai batal jika berihram untuk haji di bulan-bulan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji” QS Al Baqarah (2): 189. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/211-212).

Tiga Hal yang Mengotori Kemabruran Haji
Orang yang dipilih Allah SWT dari ratusan juta kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji adalah orang yang sangat beruntung. Beragam keistimewaan dan keutamaan yang berpuncak pada surga yang menantinya jika ia meraih haji mabrur. Namun, ujian dan cobaan yang mengotori kemabruran hajinya juga tidak sedikit. Dari sekian banyak ujian, ada 3 (tiga) hal yang disebut dalam ayat di atas yang perlu senantiasa diwaspadai oleh jama”ah haji, yaitu rafats, fusuq dan jidal.

Sesungguhnya kemunkaran dan hal-hal negatif selama musim haji di tanah suci cukup banyak. Sehingga tidak benar, persepsi sebagian orang bahwa Tanah Suci sepi dari kemaksiatan dan kemunkaran. Ketika Al Qur”an hanya menyebut tiga hal negatif tersebut, hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya peluang untuk melakukan ketiga perbuatan negatif itu dalam “muktamar” yang dihadiri jutaan kaum muslimin sedunia dengan beragam warna kulit, bentuk fisik, suku, ras, bahasa dan adat amatlah besar. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang berkomentar, bahwa setiap jama”ah haji berpotensi untuk berbuat rafats, fusuq dan jidal, baik pra haji, di tengah penunaian berbagai manasik (ritual) haji maupun pasca haji, menjelang kepulangannya ke tanah air misalnya.

Ibnu Jarir dalam kitab Tafsirnya (II/273-279) secara panjang lebar menghadirkan penafsiran para ulama tentang “rafats” yang dapat disimpulkan, bahwa “rafats” adalah jima” (bersetubuh) dan permulaan-permulaannya seperti bercumbu serta perkataan yang menimbulkan birahi. Lalu “fusuq” adalah semua bentuk maksiat dan larangan-larangan bagi orang yang berihram. Sedangkan “jidal” adalah berbantah-bantahan, saling panggil memanggil dengan gelar yang buruk dan debat kusir seperti saling mengklaim bahwa apa dilakukan paling baik/benar dan semua perbuatan yang memicu konflik, kedengkian dan permusuhan. Ketiga hal ini diberi penekanan khusus untuk dijauhi, karena Allah SWT menginginkan jama”ah haji untuk melepaskan diri dari segala gemerlap dunia dan tipu dayanya, serta mensucikan diri dari segala dosa dan keburukan. Sehingga terwujudlah tujuan yang diinginkan dari ibadah haji yaitu Tahdzib An Nafs (pensucian jiwa) dan mengarahkannya secara total untuk beribadah kepada Allah SWT semata.

Dan hanya jama”ah haji yang mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan negatif tersebutlah yang diibaratkan Nabi SAW seperti bayi yang baru lahir ke dunia tanpa dosa.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji, tidak rafats dan berbuat fasik, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari di saat ia dilahirkan ibunya” HR Bukhari dan Muslim.

Setelah melarang berbuat keburukan, Allah SWT membangkitkan semangat mereka untuk melakukan kebaikan seraya berfirman, “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya”. Dilihat dan diketahui Allah merupakan jaza” qabla”l jaza”, penghargaan dan balasan dari Allah sebelum balasan yang sesungguhnya. Sehingga memotivasi seorang mukmin untuk semakin banyak memproduksi berbagai macam kebaikan.

Tips Meraih Haji Mabrur
Setiap jama”ah haji pasti berobsesi menjadi haji mabrur. Sebab, haji mabrur seperti sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, tidak ada balasan lain untuknya kecuali surga. Tetapi, ternyata tidak semua orang yang pergi haji ke tanah suci meraih predikat haji mabrur. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Umar bin Khaththab RA:

“Orang-orang yang rekreasi (turis) itu banyak, sementara jama”ah haji (sejati) sedikit”.

Masih banyak jama”ah haji yang beranggapan kepergiannya ke tanah suci sebagai rekreasi, bukan perjalanan suci. Masih banyak dari mereka yang tampilannya bak wisatawan, bukan Wafdu”r Rahman (tamu Allah). Jika hal ini yang terjadi alih-alih meraih haji mabrur, justru semua biaya dan tenaga yang ia kerahkan menjadi mabur, terbang dan hilang percuma.

Karena itu, Allah SWT dalam ayat di atas memberikan tips untuk meraih haji mabrur. Yaitu dengan memerintahkan orang-orang mukmin yang akan menunaikan ibadah haji untuk mempersiapkan bekal yang memadai. Bekal itu meliputi: Az Zaad Al Maaddi (bekal materi) dan Az Zaad Ar Ruhi (bekal spiritual). Perhatikan firman-Nya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”.

Termasuk dalam bekal materi adalah biaya selama perjalanan, biaya untuk keluarga yang ditinggalkan, kesehatan jasmani dan penguasan materi manasik haji. Sementara bekal ruhi adalah ikhlas, yaitu berhaji semata-mata karena Allah. Bukan untuk bangga-banggaan dan supaya dipanggil pak haji atau bu haji. Juga optimalisasi taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Inilah esensi takwa yang merupakan sebaik-baik bekal bagi jama”ah haji. Dengan takwa perjalanan haji yang amat berat dan beresiko ini menjadi ringan dan mudah. Dengan takwa haji mabrur akan menjadi realita, bukan utopia.

source



Blogged on 9:15 AM

~~~

If you interested in content, please contact the Writer: Rusnita Saleh :

The Presentations
The Internship Services
The Publishing
The Publications & Distribution
The Learning & Consultation Services
Knowledge Sharing
Knowledge Power

Telegram Buat Dian
Secret Code
Explore the Secret Code
Knowledge Center: How to Tips
Techno-Ettiquet
Agenda Puasa
Haji & Umrah : How to books


The Stories Blog
Healthy corner
Relax Corner
Time & Learning Session

Telegram Buat Dian

Secret Code

newsaturdesk.groups.yahoo.com

Blogger

Hit Counter
Free Website Counter

online