Haji dan Kemiskinan jeudi, décembre 15, 2005 Haji yang MemberdayakanYusuf Wibisono Salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki dampak ekonomi besar adalah ibadah haji. Dengan 200 ribu jamaah haji, di Indonesia, ritual ini mampu memobilisasi dana tak kurang dari Rp 6 triliun per tahun. Namun even ekonomi besar tahunan ini tak mampu memberi dampak yang signifikan pada kehidupan ekonomi umat. Sekian puluh tahun haji dilakukan, umat tetap terpuruk dalam kemiskinan. Kenyataan ironis ini memunculkan wacana yang semakin mengental untuk mereformasi penyelenggaraan ibadah haji. Secara umum, ketidak-mampuan haji menjadi kekuatan ekonomi umat disebabkan tiga faktor. Pertama, kesalahan sistem yang menempatkan Departemen Agama (Depag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator, dan evaluator. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan jelas-jelas bertentangan dengan prinsip good governance. Kedua, dana haji masyarakat dikelola oleh Depag yang berada di ranah publik. Lembaga pemerintah hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan publik. Menjadi kesalahan fatal menempatkan institusi pemerintah mengelola dana masyarakat karena akan terjadi tabrakan tujuan antara pelayanan publik dan mengejar laba. Ketiga, tidak ada grand strategy dan political will yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan haji sebagai pendorong kebangkitan ekonomi umat. Haji selama ini hanya dipandang sebagai ritual ibadah belaka yang tidak memiliki dampak ekonomi apapun. Paradigma ini seolah dilestarikan sehingga jamaah haji kita rela dengan pelayanan ibadah haji yang sangat buruk, walau telah membayar ongkos yang mahal. Haji pun tak pernah dihubungkan dengan aktivitas ekonomi umat lainnya. Tulisan berikut ini mencoba melihat potensi ekonomi haji secara keseluruhan dan peluang implementasi-nya di Indonesia. Pembiayaan pembangunan THI akan menerima pembayaran dana haji dengan memakai sistem tabungan, sehingga akan membantu setiap umat Islam untuk menunaikan haji secara terrencana dan dengan waktu yang lebih cepat. Hal ini tidak hanya membawa implikasi positif secara agama tetapi juga secara ekonomi. Dana tabungan haji yang disetor lebih awal, dapat diinvestasikan terlebih dahulu pada sektor usaha yang aman dan sesuai dengan ketentuan syariah. Dengan demikian, dana tabungan haji akan menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang yang murah. Dana tabungan haji yang dikelola THI akan membebaskan dana-dana jangka pendek yang selama ini dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang. Dana THI juga akan menambah volume kredit tanpa menambah uang beredar, sehingga akan memberi stimulus perekonomian dengan tetap menjaga stabilitas tingkat harga. Dalam kasus Indonesia --yang mengalami defisit anggaran, dana THI dapat dipergunakan untuk membeli BUMN yang diprivatisasi pemerintah, khususnya BUMN strategis seperti Indosat dan PT Dirgantara Indonesia. Dengan demikian, kemanfaatan dana THI menjadi berlipat ganda, yaitu mengembangkan dana dalam bentuk investasi dan sekaligus mempertahankan aset penting negara. Haji dan LKS Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka dampaknya terhadap perkembangan LKS akan sangat besar. Sebagai misal, hingga November 2004, dana yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah baru mencapai Rp 10,5 triliun. Bayangkan bila dana Rp 6 triliun dapat sepenuhnya dikelola di dalam bank syariah, tentu akan terjadi penambahan dana yang luar biasa bagi perbankan syariah. Dengan mobilisasi dana LKS yang semakin besar, maka dampaknya terhadap perekonomian akan semakin positif, yaitu dinamisasi sektor riil terutama usaha kecil menengah (UKM), stabilitas sektor keuangan, dan stabilitas tingkat harga. Penyelenggaraan ibadah haji banyak melibatkan berbagai komponen yang memiliki nilai ekonomi besar, sehingga berpotensi menciptakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Mulai dari transportasi dari Tanah Air ke Tanah Suci, pemondokan, katering, hingga bisnis kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Untuk aspek-aspek pelaksanaan haji inilah perhatian Depag banyak tercurah. Dengan posisi monopoli yang menempatkannnya sebagai ''biro perjalanan haji terbesar di dunia'', Depag telah membuat haji sebagai arena perburuan rente ekonomi tahunan oleh birokrasi dan para kroni-nya. Aroma bisnis yang kental di tangan satu pihak inilah yang selama ini menjadi arena KKN yang sangat subur. Terlebih dengan akumulasi sisa dana haji yang dilegalkan menjadi dana abadi umat (DAU), telah membuka praktik politik uang --tidak hanya di lingkungan Depag tetapi juga telah menyebar ke lingkaran kekuasaan lainnya. Hal ini tentu memprihatinkan, karena ibadah haji yang suci justru menjadi sumber praktik bisnis dan politik tidak terpuji. Dengan pendirian THI, maka THI akan menggantikan peran pelaksana ibadah haji yang selama ini dilakukan Depag. Dengan demikian, Depag akan bisa lebih fokus pada fungsi regulasi dan pengawasan yang selama ini terabaikan. Untuk memacu efisiensi, THI tidak boleh melakukan monopoli. THI harus dihadapkan pada persaingan sehat dengan menempatkan biro perjalanan haji swasta sebagai pelaksana haji pendamping. Dengan demikian, jamaah akan mendapat pelayanan prima dengan ongkos yang murah. Pada saat yang sama, peran sektor swasta teroptimalkan sehingga akan menggerakkan sektor riil. Haji dan kemiskinan Di Indonesia, kemiskinan adalah luas dan persisten. Kemiskinan adalah sumber dari semua permasalahan sosial-kemasyarakatan seperti kriminalitas, penurunan kualitas hubungan sosial, kenakalan remaja, anak-anak telantar, hingga penyalahgunaan obat terlarang. Maka di dalam Islam, menyantuni fakir miskin adalah maslahah yang bersifat qath'i, karena secara jelas disebut Alquran berulang kali. Dalam perspektif ini, tentu lebih baik untuk mengentaskan kemiskinan yang bersifat wajib daripada mendahulukan haji ulang yang hanya sunnah. Maka THI dapat menyosialisakan kepada mereka yang hendak haji ulang agar mengurungkan niatnya, karena dalam kasus Indonesia di mana kemiskinan dan masalah sosial ummat Islam lainnya yang bersifat wajib masih sangat banyak haji ulang sangat mungkin tidak lagi bernilai sunnah. Pada saat yang sama, mereka diimbau untuk menyerahkan dana haji ulang ke THI atau LSM untuk program pengentasan kemiskinan. Jika haji ulang tidak bisa dicegah, setidaknya harus ada disinsentif. Sebagai misal, bagi mereka yang ingin haji ulang diharuskan membayar setoran tabungan secara penuh di awal, namun dengan keberangkatan 4-5 tahun kemudian. Sehingga dana haji ulang ini akan tertahan lama di THI dan akan menjadi dana murah yang dapat dipergunakan untuk investasi jangka panjang, khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan.
Comments:
Enregistrer un commentaire
~~~ |
.:Find Me:. If you interested in content, please contact the Writer: Rusnita Saleh : .:acquaintances:.
The Presentations .:Publications:.
Telegram Buat Dian .:Others:.
The Stories Blog .:New Books:. .:talk about it:.
.:archives:.
.:credits:.
|